Jumat, 16 Januari 2015

TUGAS ARTIKEL

Harian              : Koran Sindo, 05 November 2014
Tema Artikel   : Korupsi
Judul Artikel   : “Faktur Pajak Palsu Libatkan Jaringan”
Isi Artikel    : JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak terus berupaya meningkatkan penerimaan pajak. Salah satunya dengan menertibkan faktur pajak palsu yang merugikan negara miliaran rupiah.

Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Yuli Kristiyono mengatakan, selama ini kasus yang ditangani sekitar 40%-nya adalah masalah faktur pajak yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya atau palsu. Dia mengakui, dari persentase sebanyak itu, baru 10% yang diselesaikan. “Jaringannya cukup banyak karena melibatkan penerbit faktur pajak,” ujar Yuli saat konferensi pers di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, kemarin.

Terkait penertiban faktur pajak palsu, Ditjen Pajak bersama Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri barubaru ini menangkap sepuluh orang pelanggar pajak dalam kurun waktu 27-31 Oktober 2014. Mereka diduga terlibat dalam penerbitan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya. Kesepuluh orang tersebut, ujar dia, empat orang di antaranya merupakan jaringan penerbit faktur pajak. Sedangkan yang lainnya, berperan sebagai kuriryangbertugasmenyampaikan surat pemberitahuan (SPT) ke kantor pelayanan pajak.

“Dari 10 orang tersebut, tujuh orang berstatus tersangka dan telah ditahan di Bareskrim Polri karena ada bukti kuat. Tiga lainnya masih bertindak sebagai saksi,” ujar Yuli. Yuli menjelaskan, dari empat jaringan penerbit faktur pajak tersebut, dua jaringan telah menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sekitar Rp41 miliar. Sedangkan, dua jaringan lainnya saat ini sedang dalam pengembangan kasus. Dia menambahkan, potensi penerimaan negara dari faktur pajak bisa mencapai Rp500 miliar.

Namun, hingga periode Januari-Juni 2014 wajib pajak yang melaporkan faktur pajak baru sekitar Rp93 miliar. “Keempat jaringan penerbit faktur pajak ini tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau diduga pesanan dari perusahaan-perusahaan besar aktif yang tersebar di wilayah Indonesia,” ucapnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 16/2009, tindak pidana penerbitan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi akan diancam pidana penjara paling lama enam tahun penjara. Pelaku juga dikenakan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan atau bukti setoran pajak.

Di tempat yang sama Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Wahyu K Tumakaka mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak melalui penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) akan menerapkan ketentuan dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimanatelahdiberikanwewenang berdasarkan Undang- Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

“Ditjen Pajak bersama Bareskrim Polri sebelumnya juga telah melaksanakan tindak pidana di bidang perpajakan dengan jumlah kasus sebanyak 57 kasus selama tahun 2014. Dari penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan oleh PPNS Ditjen Pajak, 13 kasus telah disidangkan oleh pengadilan negeri dan seluruh terdakwa dinyatakan terbukti bersalah,” ucapnya.

Dia juga mengingatkan kepada seluruh wajib pajak agar tidak melakukan transaksi dengan memanfaatkan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya dalam memperoleh keuntungan tambahan. “Yang jelas, dengan didukung Bareskrim Polri, kita akan terus melakukan penegakan hukum, baik itu terhadap penerbit, pengedar, maupun pengguna faktur pajak yang tidak sesuai transaksi sebenarnya,” pungkas dia.

Pembahasan    : 1. Prinsip Tanggung Jawab Profesi

Dalam kasus ini orang-orang tersebut tidak menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam melakukan hal tersebut sehingga muncul pembuatan faktur pajak palsu dan merugikan negara sebanyak 41 miliyar.

            2.    Prinsip Kepentingan Publik

Dalam kasus ini jelas bahwa pihak pihak tersebut tidak memperhatikan kepentingan publik melainkan kepentingan sendiri yang merugikan publik. Dan juga tidak menunjukkan komitmen mereka atau profesionalisme dari pekerjaan mereka.

3.    Prinsip Integritas

Dalam kasus ini pihak pihgak tersebut tidak memiliki integritas dalam melakukan perannya. Dengan menggelapkan pajak yang merupakan pendapatan negara sebesar 4,1 miliyar milik negara menunjukan bahwa orang orang tersebut bertindak tidak jujur untuk memuaskan kepentingan pribadi.

4.    Prinsip Objektivitas

Pihak tersebut tidak memelihara objektifitas dalam melakukan perannya. Dalam membuat faktur pajak palsu beberapa pihak tersebut tidak melakukan pekerjaan secara adil dan tidak jujur.
  
5.    Prinsip Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

Pembuatan faktur pajak palsu dinilai tidak menunjukan kompetensi dan ketekunan dalam akuntansi. Seseorang yang melakukan pelanggaran dinilai tidak kompeten karena sesuatu yang bersifat kompeten menghasilkan sesuatu yang baik bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk orang lain.

6.    Prinsip Kerahasiaan

Dalam hal kerahasiaan, pihak tersebut melakukan kerahasiaan yang melanggar kode etik. Menggelapkan pajak secara rahasia dan pada akhirnya merugikan negara tidak menunjukan kerahasiaan dalam prinsip kode etik akuntan.

7.    Prinsip Perilaku Profesional

Dalam prinsip perilaku profesional, pihak tersebut tidak berperilaku konsisten. Pihak pihak tersebut adalah lembaga yang dipercaya pemerintah untuk mengelola pajak dengan baik, seharusnya pihak tersebut menajaga kepercayaan pemerintah dan masyarakat yang diberikan dengan tidak melakukan penggelapan dana pajak yang merugikan negara dan masyarakat.

8.    Prinsip Standar Teknis

Apa yang telah dilakukan oleh beberapa pihak tersebut tidak menunjukkan relevansi dari perbuataannya terhadap standar teknis yang ada sesuai dengan IAI dan peraturan perundang-undangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar